//HTTP/MAKALAHHARTABENDA/ELMUADZY.COM//
Fiqh Muamalah :Harta Benda (Al-Mal)
Daftar Isi
Halaman Judul
................................................................................................................
i
Kata Pengantar ...............................................................................................................
ii
Daftar Isi
.........................................................................................................................
iii
Bab I :
Pendahuluan
A. Latar
Belakang.........................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah
...................................................................................
2
C. Tujuan
.....................................................................................................
2
Bab II :
Pembahasan
A. Pengertian
Harta
.....................................................................................
3
B. Cara Mendapatkan
Harta dan Pemanfaatannya...................................... 5
C. Macam-Macam
Harta
.............................................................................
9
D. Fungsi Harta
...........................................................................................
15
Bab
III................................................................................................................................
: Penutup
A. Kesimpulan .............................................................................................
16
B. Kritik dan
Saran.......................................................................................
16
Daftar Pustaka ................................................................................................................
18
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an harta disebutkan dalam 25 surat dan 46 ayat. Sedang kaya atau kekayaan disebutkan dalam
9 surat dan 11 ayat. Menurut Muhammad Abdul Baqi, al-mal disebutkan 86
kali dalam Al-Qur’an.
Dalam
kehidupan dunia, kita dikelilingi oleh hal-hal atau benda-benda yang kita klaim
sebagai milik kita. Keluarga, rumah, pekerjaan, panca indera, harta, ilmu
pengetahuan, keahlian, dan lain sebagainya semua kita sebut sebagai milik kita.
Tapi benarkah itu semua milik kita? Sejak kapan semua itu menjadi milik kita?
Manusia
dengan sifat fitrahnya amat suka kepada harta dan mengumpulnya. Mereka tidak
pernah merasa puas dalam mengejar harta kekayaan. Tidak ada sesuatu yang dapat
menghalang kecintaan mereka mengejar harta kecuali kematian. Allah telah
merakamkan sifat kecintaan manusia kepada harta benda dalam firman-Nya yang
bermaksud:
"Dan
kamu cintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan"(al-Fajr 20).
Al-Quran
menggambarkan bahawa manusia mencintai harta kekayaan melebihi kecintaan kepada
anak-anak dan keluarga dengan firman-Nya:
"Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi, amalan-amalan yang kekal
lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan" (al-Kahfi, 46).
Ayat ini
mendahulukan perkataan harta daripada perkataan anak-anak yang menunjukkan
manusia amat mencintai harta kekayaan. Malahan manusia sanggup berkelahi dan
berperang demi untuk mendapatkan harta.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
pemakalah gunakan adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Harta?
2. Bagaimana cara mendapatkan harta
atau asal usul harta dan cara peman-faatannya?
3. Apa saja macam-macam bentuk harta?
4. Apa fungsi dari harta?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Muamalah.
2. mengetahui pengertian dan definisi
dari harta
3. mengetahui bagaimana cara
mendapatkan harta dan darimana asal usul harta tersebut dan cara
pemanfaatannya.
4. mengetahui macam-macam bentuk harta.
5. Mengetahui fungsi dari harta.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Harta
Secara
etimologi, harta dalam bahasa Arab disebut al-Mal, berasal dari kata مال يميل
ميلا
mempunyai
arti condong, cenderung atau miring. Karena manusia cenderung ingin memiliki
dan menguasai harta. al-Mal juga diartikan segala sesuatu yang
menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam
bentuk manfaat.
Di dalam
kamus Lisan al-’Arab karya Ibnu Manzur diterangkan bahwa kata مال berasal dari kata kerja موّ ل ، ملت
، تما ل ، ملت
. Jadi, مال didefinisikan sebagai “segala
sesuatu yang dimiliki”. Berkata Sibawaihi, diantara bentuk imalah yang asing
dalam bahasa Arab ialah مال (mal) yang bentuk jamaknya أموال (amwal). Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-mal berarti
’apa saja yang dimiliki’, kata tamawwalta ( تموّلت ) berarti ’harta kamu banyak karena
orang lain’, kata multahu ( ملته ) berarti “kamu memberikan uang pada
seseorang”.
Secara
terminologi, pengertian al-Mal menurut ulama Hanafiyah:
ما يميل
أليه طبع الانسان ويمكن أذخاره ألى وقت الحاجة
“Segala yang
diinginkan oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga saat
dibutuhkan.”[1]
Menurut
Jumhur ulama, al-Mal (harta):
كل ما له
قيمة يلزم متلفها بضمانه
Segala
sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak
atau melenyapkannya.
Menurut
Hanafiyah: Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat
dimanfaatkan. Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur, yaitu:
1. Harta dapat dikuasai dan dipelihara
secara nyata. Sesuatu yang tidak bisa disimpan atau dipelihara secara
nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari,
cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
2. Dapat dimanfaatkan menurut
kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan
yang basi, tidak dapat disebut harta; atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan
tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam
tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit
sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan
sesuatu yang lain. [2]
Salah satu
perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama
adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah
memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan
harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah (jumhur), manfaat termasuk
harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya.
Jadi,
perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:
1. Bagi jumhur ulama harta tidak
saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.
2. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi
harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian
hak milik.[3]
1. Nama selain manusia yang diciptakan
allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu
tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.
2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh
setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagin manusia
3. Sesuatu yang sah untuk
diperjualbelikan
4. Sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai(harga)
5. Sesuatu yang berwujud, Sesutu yang
tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta,
6. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu
yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.[5]
Menurut Wahbah Zuhaili
(1989, IV, hal, 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia
dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti;
komputer, Kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya.[6] Atau pun berupa
manfaat, seperti, kendaraan, atau tempat tinggal.
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
·
Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya
bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut,
baik bersifat materi atau immateri.
·
Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia.
Konse-kuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan
sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di
lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya
B. Cara Mendapatkan Harta Atau Asal
Usul Harta dan Pemanfaatannya
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta
selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku
yaitu halal dan baik. Hal ini berarti islam tidak melarang seseorang untuk
mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan
yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT sendiri sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat diatas. Di samping itu dalam pandangan islam harta itu bukanlah
tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang
menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang
kehidupannyasecara garis besar ada dua bentuk :
1. Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum
dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas(ihrazu
al-mubahat). Disamping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu
hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang
tambang yang berada diperut bumi selama belum ada pihak yang menguasinya, baik
individu maupun Negara.
2. Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang
melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama
peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang
siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan.
Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan arti atas
kehendak dankeinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak
sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian
timbale balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli.
Cara
memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
tersebut di atas, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur
paksaan dan tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas
harta orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan
sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru mendatangkan
mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja,
perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya. Atau memperoleh harta
dengan jalan yang bertentangan dengan nilai keadilan dan tolong menolong,
seperti riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa yang diberikan.
Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya,
atau bisa dikatakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Adapun petunjuk Allah SWT yang berkaitan
dengan penggunaan harta adalah sebagai berikut:
1. Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup
sendiri penggunan harta untuk kebutuhan hidup dinyatakan Allah dalam Firman-Nya
pada beberapa ayat al-qur’an diantaranya pada surat al-Mursalat ayat 43. Artinya:
“
Makan dan minumlah kamu dengan enak apa yang telah kamu kerjakan.”
Walupun
yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang
dimaksud disini adalah semua kebutuhan hidup seperti pakaian dan perumahan.
2. Digunakan untuk memnuhi kewajibannya terhadap
Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam:
a. Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama
yang merupakan utang terhadap Allah seperti keperluan membayar zakat atau nazar
atau kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan
dimanfaatkan meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk
manusia. Kewajiban materi dalam bentuk ini dinyatakan allah dalam beberapa ayat
al-qur;an diantaranya surat al
baqarah ayat 267. Artinya:
“Wahai orang orang yang beriman nafkahkanlah
(zakatkanlah) dari yang baik-baik apa yang kamu usahakan dan apa-apa yangkami
keluarkan untukmu dari dalam bumi”.
b.
kewajiban materi yang
harus ditunaikan untuk keluarga yaitu anak, istri dan kerabat. Tentang
kewajiban materi untuk istri dan anak dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 233. Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan”.
3. Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Hal ini
dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki
namun yang diberian allah itu tidaklah sama untuk setiap orang. Kenyataan
berbedanya perolehan rezeki ini dinyatakan Allah dalam surat An-Nahl ayat 71. Artinya:
“Dan
Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki
mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan)
rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.
Orang
yang mendapatkan kelebihan rezeki itu dituntut untuk menafkahkan sebagian dari
perolehannya itu, sebagaimana disebutkan Allah dalam banyak tempat, diantaranya
surat al-Munafiqun ayat 10 yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah
kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara
kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan
Aku termasuk orang-orang yang saleh?"
C. Macam-Macam Harta
1. Mal Mutaqawwim dan Ghair Mutakawwim.
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal al
mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah
upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, seperti makana,
pakaian, kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang
belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum
sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar
laut, minyak di perut bumi, dan lainnya. Atau harta tersebut tidak
diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti
minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh
dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan
adalah kadar minimal yang bisa menyelamat-kan hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta
mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat
seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka
berkewajiban untuk menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas
tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk
menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus
tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan
bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi
muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Harta mutakawwim adalah semua harta yang baik jenisnya
maupun cara memperoleh dan penggunaannya. Dan harta ghair mutaqawwim adalah
yaitu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya
maupun cara penggunaannya.[7]
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi.
Mal Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam
kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditemapt yang lain
tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dan Mal Qimi adalah benda-benda yang
kurang dalam kesatuan-kesatuannya karenanya tidak dapat berdiri sebagian
ditempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.[8]
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat
padanannya dipasaran, tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau
bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi
empat bagian:
1) Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti;
gandu, terigu, beras;
2) Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti;
kapas, besi, tembaga;
3) Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti;
pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil
yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya;
4) Al dzira'iyat (sesuatuyang dapat diukur dan memiliki
persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat
perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti
tanah.
Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat
padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap
satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika
dilihat dari fisiknya, akan tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda
antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka
yang memilki kualitas dan bntuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah
menjadi harta qimi atau sebaliknya;
1. Jika harta
mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan atau scarcity),
maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
2. Jika terjadi
percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda, seperti
modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta qimi,
3. Jika harta
qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis menjadi harta
mitsli.[9]
3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal.
Harta istihlak terbagi dua, yaitu istihlak haqiqi yang
artinya suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas zatnya habis sekali
digunakan. Dan yang kedua istihlak huquqi yang artinya harta yang sudah habis
nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada.
Harta isti’mal adalah sesuatu yang dapat digunakan
berulang kali dan materinya tetap terpelihara.[10]
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin
bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti
aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita
ingin memanfaatkan makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya
sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan
mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan
membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang
pemilik, maka uang tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi
milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih
tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi
sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk
bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan,
rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki,
harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.[11]
4. Harta ‘Iqar dan Manqul
Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah
harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat
lainnya, baik bentu fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya
perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau
apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka
tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau
tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan
merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus
pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah
cenderung mempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar.
Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau
ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk
fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar
adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer.
seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas
bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan
kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah
menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata,
semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka
akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi,
emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi
setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.[12]
5. Harta ‘Ain dan Dayn
Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda, harta
‘ain terbagi dua yang pertama harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki
bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Yang kedua harta
‘ain ghyar dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta
karena tidak memiliki harga. Sedangkan Harta Dayn adalah sesuatu yang ada dalam
tanggung jawab.[13]
6. Mal al-‘aini dan mal al-naf’i.
Harta ‘aini ialah benda yang memiliki nilai dan
berbentuk. Dan harta naf’I adalah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut
perkembangan masa.[14]
7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur.
Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk kebawah milik,
milik perorangan maupun milik badan hukum. Harta mamluk terbagi dua, yang
pertama harta perorangan yang berpautan dengan harta bukan pemilik. Dan yang
kedua harta perkongsian anatara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang
bukan pemiliknya. Asalnya bukan milik seseorang.
Harta mubah ialah sesuatu yang pada seperti air pada
mata air. Dan harta Mahjur ialah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendirin
memberikan pada orang lain menurut syariat.[15]
8. Harta yang dapat dibagi dan yang
tidak dapat dibagi.
Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi.
Dan Harta yang tidak dapat dibagi ialh harta yang menimbulkan kerusakan atau
kerugian apabila harta tersebut dibagi-bagi.[16]
9. Harta pokok dan harta hasil.
Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi
harta yang lain, dan harta hasil ialah terjadi dari harta yang lain.[17]
10. Harta khas dan harta ‘am
Harta khas ialah harta pribadi, tidak sekutu dengan
yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya. Dan harta
‘am ialah harta milik bersama yang boleh diambil manfaatnya.[18]
D. Fungsi Harta
Harta berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan
ibadah khas, sebab ibadah memerlukan alat-alat. Untuk meningkatkan keimanan
kepada Allah. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode
selanjutnya. Untuk menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat. Untuk menegakan
dan mengembangkan ilmu-ilmu. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan. Untuk
menumbuhkan silaturahim.
Harta
dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut.
Diantar sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
a. Untuk menyempurnakan
pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah).
b.
Untuk meningkatkan
keimanan (ketakwaan) kepada Allah.
c.
Untuk meneruskan
kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya.
d.
Untuk menyelaraskan
(menyeimbangkan)antara kehidupan dunia dan akhirat.
e. Untuk mengembangkan dan meningkatkan ilmu-ilmu.
f.
Peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu
dan tuan atau adanya orang kaya dan orang miskin.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, maka dapat
jita simpulkan bahwa:
Harta adalah segala sesuatu yang
dimanfaatkan kepada sesuatu yang legal menurut hokum syara’ (hukum Islam)
seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibbah atau pemberian. Jadi, apapun
yang digunakan manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta.
Bahwa Harta merupakan kebutuhan mendasar manusia.
Dengan harta tersebut Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia harus
mempergunakan harta dengan sebaik – baiknya. Cara memperoleh harta itu banyak
sekali asalkan dengan jalan yang halal dan di ridhoi Allah SWT. Lalu adanya
macam – macam harta yang telah dijelaskan dalam makalah ini supaya kita lebih
memahami.
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam
mencari dan memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam
prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti islam tidak
melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun
yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT
sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas. Di samping itu dalam
pandangan islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan
Allah. Fungsi harta itu sangat
banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun kegunaan dalam hal yang
jelek.
B. Kritik dan Saran
Jika dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesa-lahan seperti penulisan huruf,
ejaan, dan sebagainya, kami mengharapkan Kritik dan Saran yang bersifat Positif
atau membangun. Karena pengetahuan kami sebagai penulis juga masih kurang dan
juga masih dalam pembelajaran.
Maka dari
itu kami sangat berharap kritik dan saran dari segala pihak agar kami bisa
mengetahui dimana kekurangan dari makalah ini.
Terima kasih
atas partisipasinya semoga makalah ini berguna untuk meme-nuhi tugas mata
kuliah fiqh muamalah.
Daftar Pustaka
Ash-Shiddiqie,Teungku
Muhammad. 2009. Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : Pustaka Rizki
Putra
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh muamalah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
[1] Teungku Muhammad Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah,
(Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009), hlm. 137.
Komentar
Posting Komentar