BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ketika filsafat Islam dibicarakan,
maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof
muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak
bisa dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi
pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang
pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam
dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang
sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al-
Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai
dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan
filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali
yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik
terhadap filosof Muslim lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Biografi dan Apa Saja Karya
Al-Ghazali?
B. Bagaimana Pemikiran Filsafat
Al-Ghazali?
C. Bagaimana Pandangan Al-Ghazali terhadap
Filsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan Karya Al Ghazali
1. Biografi Al
Ghazali
Beliau bernama Muhammad bin Ahmad al-ghazali. Namanya
kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya tukang pintal
benang, Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol.
Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari kata
Ghazalah nama kampung kelahirannya.[1]
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M, di
desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “Pembela Islam” (hujjatul Islam).
Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di
Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang
penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini,
Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah, Nisyapur. Diantara mata pelajaran-mata
pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi, Hukum Islam, Falsafat,
Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam.[2]
Pada tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat
menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya
yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan
(rektor) universitas tersebut.[3]
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di
Universitas Nizamiah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani,
krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia
meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf
selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul
Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. serta
nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melalang buana kurang lebih
10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di
Universitas Nizamiah lagi.
Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia
di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh
saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah
timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.[4]
2. Karya-karya
Al-Ghazali
Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah
meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228 kitab yang
terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya.
Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashid al-Falasifat (The
tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai
ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu
alam.
b. Tahafut al-falasifat (The
distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran
para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam
ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
c. Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu
Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang
rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan
pastinya.
2. Di bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin
(Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
b. Al-munqiz min al-Dhalal
( Terlepas dari kesesatan).
c. Minhaj ul’Abidin (the
Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).
3. Di bidang akhlak
tasawuf
a. Mizan ul ‘Amal
(neraca amal).
b. Kitab pendamping
Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
c. Kimiya us Da’adah
(kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut
pandang kepraktisannya dan hukum.
d. Kitabul Arba’in
(empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan
dengan akhlak tasawuf.
e. At-Tibrul Masbuk fi
nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para
penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
f. Al-Mustashfa
fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu
hukum).
g. Mishkat ul Anwar
(lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu
aqidah dan teologi.
h. Ayyuhal Walad (wahai
anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan amal
perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
i. Al-adab
fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam
hubungannya dengan etika hidup manusia.
j. Ar-Risalah
al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak
dengan masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan
sebagainya.
4. Di bidang kenegaraan
a. Mustazh hiri.
b. Sir ul Alamain
(rahasia dua dunia yang berbeda).
c. Suluk us Sulthanah
(cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu pimpinan
bagaimana seorang kepala Negara harus menjalankan pemerintahannya demi
kesejahteraan rakyatnya.
5. Di bidang Fiqh dan
Ushul Fiqh
a. Asrar al-Hajj, dalam
Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
b. Al-Mustasfa fi Ilmi
al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
c. Al-Wajiz fi al-Furu’.[6]
B. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
1. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari
karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min
al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan
(metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para
filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang
telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan
metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan
yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil
kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf
tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang
hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari
bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun
demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat
berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini
akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2. Iradat
Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan
waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap
dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.[7]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa
sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali
seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat
Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang
tidak bisa terbakar oleh api.[8]
3. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara
sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’‘Ulumuddin.
Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu.
Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf
yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau
Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah
agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan
seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar,
ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara
dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip
filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam,
mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya
pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang
berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang
termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis
antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah
dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah
dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di
dalamnya.[9]
C. Pandangan Al Ghazali
terhadap Filsafat
Di bidang filsafat al-Ghazali memiliki
perhatian yang sangat besar dan ia tercatat sebagai pemikir yang
banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat kepada al-Juwaini
selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali dianggap juga sebagai salah seorang
filosof muslim.[10] Namun,
dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali memandang para
filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti apa yang ada
dalam bukunyaTahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran para
filosof). Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat
berikut:
1.Tuhan tidak mempunyai sifat.
2. Tuhan mempunyai
substansi basit (بسيط sederhana, simple)
dan tidak mempunyai mahiah ( ماهية hakekat, quiddity).
3. Tuhan tidak
mengetahui juz’iat (جزئيات perincian, particulars).
4.Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins, (الجنس jenis, genus)
dan al-fasl (الفصل differentia).
5. Planet-planet
adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6. Jiwa planet-planet mengetahui semua
juz’iat.
7. Hukum alam tak dapat berubah.
8. Pembangkitan jasmani tidak ada.
9. Alam ini tidak bemula.
1. Alam kekal
dalam arti tidak bermula.
2. Tuhan tidak mengetahui perincian dari
apa-apa yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Alam kekal (Qadimnya Alam)
Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim
berdasarkan tiga argumen yaitu sebagai berikut:
a. Mustahil
timbulnya yang baharu dari yang qadim. Proposi ini berlaku bagi sebabakibat,
dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan
dan hal ini akan menjadi qadim kedua-duanya (Allah dan alam).
b. Keterdahuluan
wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan
dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama, seperti
keterdahuluan bilangan satu dengan dua.
c. Alam
sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada
awalnya, dengan arti selalu abadi.[12] Sedangkan
menurut Al-Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain Allah adalah hadis (baharu).
Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena Allah
menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
2. Tuhan tidak
mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali
berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang
selain-Nya (juz’iat) dengan alasan alam ini selalu terjadi
perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu
akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa
perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi
pada Allah.
Pendapat para filosof itu merupakan kesalahan
fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa
perubahan pada ilmu. Karena ilmu adalah suatu tambahan, atau pertalian dengan
zat, artinya lain daripada zat. Sehingga jika terjadi perubahan pada tambahan
tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana halnya
kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah
kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.[13]
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut para filosof Muslim, yang akan
dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan
hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para
filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang
menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau
kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Mahakuasa menciptakan
segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan
mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.
Sebenarnya dalam ajaran agama Islam informasi
kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan jasmani dan rohani dan ada pula
yang disebutkan rohani saja. Para filosof Muslim lebih menerima dalam bentuk
rohani saja, sebab mereka dalam memahami nash lebih cenderung pada arti
metafora, dan kalau akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti
akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka adalah kesenangan
bukan berbentuk jasmani (materi), sedangkan arti neraka (api yang bernyala),
bagi mereka adalah kesengsaraan.[14]
Sebenarnya antara Al-Ghazali dengan para
filosof Muslim hanya bertentangan dari segi pendekatan dan pemaknaan serta
penjabaran konsep saja, bukan esensi dari segala sesuatu, artinya hakekatnya
mereka mengakui apa-apa yang tersirat dalam sumber utama (wahyu) sedang
pemaknaan atau cara menterjemahkannya tergantung pada manusia.Al-Ghazali pada
dasarnya tidak ingin menjatuhkan para filosof Muslim, melainkan mewaspadai
jangan sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus berkembang secara umum,
karena orang awam belum tentu dapat memahaminya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menurut Harun
Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi tiga macam:
1. Kaum
awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
2. Kaum pilihan (الخواص ,elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mendalam.
3. Kaum menengkar (اهل الجدل).
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik suatu
garis horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof pada kelompok kedua
atau ketiga dengan pola berfikir mereka yang khas. Berarti pemikiran filsafat
harus dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan dengan ide para filosof
muslim khususnya Al-Farabi yang menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan
terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir mereka yang berbeda. Termasuk
di dalamnya masalah metafisika dan teologi yang tidak bisa dijelaskan dengan
bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula sebaliknya, untuk berbicara dengan
filosof maka harus dengan bahasa filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut Syekh
Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo memberikan keterangan-keterangan dengan
cara yang berlainan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Inilah salah satu
alasan munculnya tahafut al-falasifat sebagai cara tersendiri
dalam menghadapi para filosof dengan bahasa filsafat. Dengan demikian
Al-Ghazali tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah filosof.
D. Kebesaran Al-Ghazali
Al-Ghazali dipandang sebagai ahli
pikir Islam yang mampu meninggalkan pengaruh yang besar dan memunculkan modal
baru dalam. Al-Ghazali hidup pada masa ulama fikih serta ilmu kalam mengajarkan
kepada masyarakat upacara-upacara lahiriah belaka. Sedangkan para ahli filsafat
Islam dan tasawuf tidak dapat melepaskan dirinya dari pertalian mereka dengan
syiah batini. Dalam keadaan seperti ini, Al-Ghazali muncul dengan pemikiran
kefilsafatan dan pemahaman agama tanpa mengikuti aliran atau mazhab tertentu.
Ia sendiri hidup dalam masa, di mana jiwa keislaman yang sebenarnya
sudah merosot sedemikian rupa, dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya.
Serta mengamalkan ajaran-ajarannya sudah mengalami kekendoran. Kekrisisan agama
sudah menimpa orang banyak dan mereka hampir-hampir binasa, sedang dokter
pengobatnya tidak ada. Maka keperluan akan pembaharuan agama mendesak sekali
yaitu yang dapat memberikan nilai-nilai rohaniah serta moral terhadap
perbuatan-perbuatan lahir. Pembaharu tersebut tidak lain adalah Al-Ghazali.
Ulama kalam sebelum Al-Ghazali telah memerangi filsafat, tetapi
tidak ada seorang pun yang dapat mengubahkan filsafat dari dasarnya sama sekali
dengan metode yang teratur rapi, seperti yang dikerjakan oleh Al-Ghazali. Dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, ia telah menguji setiap pikiran filsafat dan
menunjukkan kelemahannya. Meskipun memerangi filsafat, namun ia tetap seorang
filosof yang kadang-kadang menjelaskan kepercayaan Islam berdasarkan
teori-teori Platonisme. Ia juga mengikuti pikiran-pikiran al-Farabi dab Ibnu
Sina tentang kejiwaan, sebagaimana ia tetap setia kepada logika Aristoteles,
dan selalu mengemukakan dalil-dalil pikiran di samping dalil-dalil syara’,
sampai pun dalam soal-soal kepercayaan. Meskipun ia selalu berbeda denga
filosof-filosof, namun perbedaan itu kadang-kadang dalam istilah dan pikiran
tertentu, yang boleh jadi dalam bukunya yang lain dipertahankan.
Al-Ghazali juga menentang ilmu kalam dan ulama kalam, namun ia
tetap menjadi seorang tokoh kalam. Tentangannya hanya ditunjukkan kepada
tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankan oleh
mereka dengan mulut.
Al-Ghazali juga mengambil jalan tasawuf, tetapi membebaskan tasawuf
dari setiap tindakan yang dapat menjauhkannya dari Islam, seperti pikiran hulul
(Tuhan bertempat pada manusia), ittihad (menuggalnya manusia dengan Tuhan), dan
wihdat al-wujud (kesatuan wujud-wujud itu hanya satu yaitu Tuhan). Al-Ghazali
juga dengan jelas menentang pikiran tasawuf yang mengatakan bahwa seorang
tasawuf apabila telah mencapai tingkatan ma’arifat, tidak lagi mengenal batas
larangan dan sudah menjadi bebas dari ikatan-ikatan Syara’.
Dalam setiap langkahnya, baik berhadapan dengan filosof atau dengan
ulama kalam atau orang-orang tasawuf, ia hanya mempunyai tujuan satu saja,
yaitu menghidupkan semangat baru bagi Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Hakikat ilmu
menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek
sebagaimana realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi
berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
Pemikiran filsafat Al-ghazali dapat
dibagi 3 yaitu:
a. Metafisika yang berarti
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan
b. Iradat tuhan yang berarti
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu
berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
c. Etika yang berarti Mengenai filsafat
etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya,
Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur,
sabar, ikhlas dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.
Amin. 1996. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Akhyar
dasoeki, Thawil. 1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam.
Semarang: CV Toha Putra
Ghazali, M.
Bahri. 1991. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik
Pedagogik. Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Hanafi,
Ahmad.1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ibnu Rusn,
abidin. 1998. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Nasution,
harun. 1995. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Poerwantana,
dkk. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: CV ROSDA
Zar, Sirajuddin.
2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
[1] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 9
[4] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang:
CV Toha Putra, 1993), hlm. 57.
[6] M.
Bahri Ghazali,Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu TinjauanPsikologik
Pedagogik,(Yogyakarta:Pedoman Ilmu Jaya,1991),hlm. 31
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 176.
[12]Sirajuddin Zar, Op. Cit., hlm.164-166.
Komentar
Posting Komentar