FIKIH MUNAKAHAT
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI SERTA NUSYUZ
Disusun oleh:
Muhammad Alfi Ridho
11140440000007
Abdul Alim Mahmud
11140440000015
Rulia Fereira
Lutfah Alifia
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikatan pernikahan merupakan suatu ikatan yang bukan hanya sekedar
mengadakan akad dan juga menunaikan apa-apa yang disyaratkan di dalamnya. Akan
tetapi ikatan pernikahan menandai akan adanya konsekuensi antara dua insane
yang telah sama-sama sepakat untuk menjalin rumah tangga menempuh bersama-sama
menuju ridha Ilahi dengan adanya pembagian dan juga tugas yang wajib
dilaksanakan dan juga sesuatu yang wajib diterima satu sama lainnya. Dalam
hadist nabi juga pernah bersabda: barang siapa telah menikah maka dia telah
menyempurnakan setengah dari pada agama, oleh karena ketika telah menikah ada
beberapa hak hak antara suami dan istri maupun sebaliknya. Tentunya bukan
sekedar hak yang kita dapatkan ketika cincin telah menjadi sarung di jari manis
kita. Ada juga beberapa kewajiban yang harus di tunaikan suami ke istri atau
istri ke suami. Ketika salah satu di antaranya tidak melakukan kewajibannya
maka hal itu di kategorikan sebagai bentuk daripada nusyuz.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Hak dan Kewajiban suami dan istri
2. Pengertian nusyuz
3. Macam – macam nusyuz
4. Cara menyelesaikan nusyuz
BAB II
Pembahasan
1.
HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
A. Pengertian Hak
dan Kewajiban
Membicarakan
kewajiban dan hak suami istri, terlebih dahulu kita membicarakan apa yang
dimaksud dengan kewajiban dan apa yang dimaksud dengan hak. Hak adalah lafadz yang berasal dari bahasa arab
( حق ) yang sudah menjadi bagian daripada bahasa Indonesia, arti
etimologinya adalah pasti, nyata, dan tetap. Sedangkan menurut terminologinya
hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan atau mendapatkan sesuatu. Adapun
kewajiban juga merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yaitu وجب , yang menurut etimologi juga berarti tetap atau harus.
Sedangkan menurut terminologi kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan.
Drs. H. Sidi
Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang
Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan dengan baik.Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima.
Lantas, pada
pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya. Maka
disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut dengan kata
suami dan istri, memperjelas
bahwa kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi
untuk istrinya. Sedangkan
kewajiaban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan
untuk suaminya. Begitu
juga dengan pengertian hak suami adalah, sesuatu yang harus diterima suami dari
isterinya. Sedangkan
hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya. Dengan demikian
kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak
isteri.demikian juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk
memenuhi hak suami, sebagaimana yang
Rasulullah SAW jelaskan :
اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢ ﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ
“ Ketahuilah
sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri
kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan.”[1]
Begitulah
kehidupan berumah tangga, mebutuhkan timbal balik yang searah dan sejalan. Rasa saling
membutuhkan, memenuhi
dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya
pemenuhan kewajiban dan hak kedunya, maka keharmonisan dan keserasian dalam berumah
tangga akan goncang berujung pada percekcokan dan perselisihan.
Dan oleh karena hubungan timbal balik tersebut, apa yang menjadi hak
suami maka otomatis menjadi kewajiban seorang istri. Dan begitu pula
sebaliknya.
B. Macam-macam Hak
Antara Suami dan Istri ( Kewajiban )
Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suami, dan
hak suami yang menjadi kewajiban isteri.
1.
Hak-hak Bersama
Hak–hak bersama antara suami dan isteri adalah
sebagai berikut :
a. Halal bergaul
antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
b. Terjadi
hubungan mahram mushoharoh, yakni isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya,
dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri,
neneknya, dan seterusnya ke atas.
c. Terjadi
hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah dilaksanakan.
Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami
berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan
pergaualan suami-isteri.
d. Anak yang lahir
dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai hasil
hubungan setelah nikah).
e. Bergaul dengan
baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan
damai. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa: 19, yaitu:
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ... (النساء : 19 )
Artinya: “Dan gaulilah
isteri-isteri itu dengan baik……”
2. Hak-hak Istri
Hak-hak istri
yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu mahar
(maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di
antara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan
isteri dan sebagainya.[2]
a. Hak-hak
Kebendaan
1) Mahar
(Maskawin)
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa ayat 04, yaitu:
و
ءاتوا النساء صدقتهن نحلة فان طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيأ مريئا
Artinya: “Dan berikanlah maskawin kepada
perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka
dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia
sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat
Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu adalah
harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi
isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan
maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.
Q.S. An-Nisa:
24 menjelaskan:
... فما استمتعتم به منهن فئاتوهن اجورهن فريضة ولا جناح عليكم
فيما ترضيتم به من بعد الفريضة ...
Artinya: “….
Isteri-isteri yang telah kamu campuri, berikanlah kepada mereka mahar sempurna,
sebagai suatu kewajiban, dan tidak ada halangan kamu perlakukan mahar itu
sesuai dengan kerelaan istri kepadamu setelah ditunaikannya kewajiban
tersebut…”
Dari ayat
tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas mahar penuh apabila telah
dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas suami, dan isteri harus tahu
berapa besar dan apa ujud mahar yang menjadi haknya itu. Setelah itu,
dibolehkan terjadi persetujuan lain tentang mahar yang menjadi hak isteri itu,
misalnya isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi jumlah, mengubah ujud
atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi
riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihaqi dari Aisyah
mengjarkan, “Perempuan-perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah
untuk suaminya adalah yang paling ringan biayanya.” Yang dimaksud
dengan ringan biayanya ialah yang tidak memberatkan suami, sejak dari mahar
sampai kepada nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasa’i dari Sahl Bin Sa’ad menyatakan
bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang sahabatnya dengan maskawin mengajar
membaca Al-Qur’an yang dihafalnya..
Hadits riwayat
Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan bahwa Nabi pernah
memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau, dan yang menjadi
maskawinnya adalah memerdekakannya itu.
2) Nafkah
Nafkah secara etimologi berasal dari masdarالانفاق yang berarti pengeluaran
dalam kebajikan. Sedangkan menurut terminology syara’ adalah:
كفاية من يمونه من الطعام و الكسوة و السكني[3]
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan
segala keperluan isteri,meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal.
Q.S. Ath-Thalaq: 6 mengajarkan, “Tempatkanlah
isteri-isteri dimana kamu tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu
menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri
yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga
bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq: 7) memrintahkan, “ Orang yang mampu
hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yang kurang mampu
pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah SWT kepadanya; Allah tidak
akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah SWT
kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyebutkan
isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain sebagai berikut, “….. Takutlah
kepada Allah SWT dalam menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak
menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh
kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu
berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan dan pakaian dengan
makruf.”
b. Hak-hak
Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami
terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami
menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang
tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
a. Sikap
menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan
taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang
diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah
r.a. mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan
orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik
perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.
mengajarkan, “Bersikap baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab orang
perempuan diciptakan berkodrat seperti tulang rusuk; yang paling lengkung
adalah tulang rusuk bagian atas; apabila kamu biarkan akan tetap meluruskannya,
ia akan patah dan apabila kamu biarkan akan tetap lengkung, bersikap baiklah
kamu terhadap para isteri.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah,
hendaknya suami selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup
keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak
jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya melaui
pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku,
majalah, dan sebagainya.
b. Melindungi
dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri
serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus
menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun, adalah
menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri
kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami
setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban memberikan
keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan agar nama
baik isteri jangan menjadi cemar.
c. Memenuhi
kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat
pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak isteri dalam
hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan anatara lain ditentukan
oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat
menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi
penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi bernama
Abdullah bin Amr yang terlalu banyak menggunakan waktunya untuk menunaikan
ibadah; siang untuk melakukan puasa dan malam harinya untuk melakukan shalat,
diperingatkan oleh Nabi yang antara lain. “Isterimu mempunyai hak yang wajib
kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan
kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia sehingga Islam menilai
hubungan suami isteri yang antara lain untuk menjaga kesucian diri dari
perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal
ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu
bernilai shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya
Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu
memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukankah apabila ia melakukannya dengan
yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan
cara yang halal akan mendapat pahala.”
3. Hak-hak Suami
Hak-hak suami
yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab
menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan
untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, lebih diutamakan isteri
tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi
kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat
mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang
sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup berat bagi
isteri yang memang benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, tidak
dapat dipahamkan bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak
pernah melihat dunia luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang
dimaksud ialah agar isteri jangan sampai ditambah beban kewajibannya yang telah
berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga. Berbeda halnya apabila keadaan
memang mendesak, usaha suami tidak dapat menghasilkan kecukupan nafkah
keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, isteri dapat diajak ikut
berusaha mencari nafkah yang diperlukan itu.
Hak-hak suami
dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang
menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara
yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri.
a. Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa: 34 mengajarkan bahwa kaum
laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (isteri) karena
laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat
kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan
keluarganya. Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada
suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun
suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun
suami-suami mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah
serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a.
:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : سَألْتُ رسول الله صلّى
الله عليه وسلّم : اَىُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقَّا عَلَى الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ :
زَوْجُهَا. قَالَتْ : فَأَ ىُّ النَّاسِ اَعْظَمُ حَقَّا عَلىَ الرَّ جُلِ ؟ قَالَ
: اُمُّهُ (رواه الحا كم)
“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya
kepada Rasulullah SAW : Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap
perempuan? Jawabnya : Suaminya. Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang
paling besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”
Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa
tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa kewajiban suami memimpin isteri itu
tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak taat kepada pimpinan
suami. Isi dari pengertian taat adalah :
1) Isteri supaya
bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
Isteri berkewajiban memenuhi hak suami
bertempat tinggal di rumah yang telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a)
Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b)
Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal isteri serta dilengkapi
dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara
wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
c)
Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta bendanya,
tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d)
Suami dapat menjamin keselamatan isteri di tempat yang disediakan.
2) Taat kepada
perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan Allah
Rasulullah SAW
menguatkan dalam sabdanya :
لَوْ اَمَرْتُ اَحَدَكُمْ اَنْ يَّسْجُدَ لِأ
حَدٍ لَأ مَرْتُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَ مِنْ عِظَمٍ حَقِّهِ
عَلَيْهَا (رواه ابوداود والنر مذى وابن ما جه وابن حبان).
“Andaikata aku
menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan
bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya.”
Isteri wajib
memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubungannya dengan
kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabila misalnya suami memerintahkan
isteri untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai keinginan suami,
isteri tidak wajib taat sebab pembelanjaan harta milik pribadi isteri
sepenuhnya menjadi hak isteri yang tidak dapat dicampuri oleh suami.
b)
Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syari’ah. Apabila
suami memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan
ketentuan syari’ah, perintah itu tidak boleh ditaati. Hadits Nabi riwayat
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan
taat kepada seorang pun Dalam bermaksiat kepada Allah; taat hanyalah dalam
hal-hal yang makruf.”
c)
Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang member hak isteri, baik yang
bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3) Berdiam di
rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Isteri wajib berdiam di rumah dan tidak keluar
kecuali dengan izin suami apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b)
Larangan keluar rumah tidak berakibat memutuskan hubungan keluarga-keluarganya,
isteri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi tidak boleh
bermalam tanpa izin suami.
4) Tidak menerima
masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar
isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar
ketentraman hidup rumah tangga tetap terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku
apabila orang yang dating itu bukan mahram isteri. Apabila orang yang dating adalah
mahramnya, seperti ayah, saudara, paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima
kedatangan mereka tanpa izin suami.
Kewajiban taat
yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan syarat-syarat yang tidak
memberatkan isteri.
b. Hak
Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa
mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap
membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan
nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur
dengan isteri. Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member
pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari
Abdullah bin Zam’ah mengatakan, “Apakah salah seorang di antara kamu suka
memukul isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari, kemudian pada malam
hari mengumpulinya.”
Dari banyak hadits yang memperingatkan agar
suami menjauhi memukul isteri itu, dapat kita peroleh ketentuan bahwa Al-Qur’an
membolehkan suami member pelajaran isteri dengan jalan memukul itu
hanya berlaku apabila isteri memang tidak mudah diberi pelajaran dengan cara
yang halus. Itu pun baru dilakukan dalam tingkat terakhir, dan dengan cara yang
tidak mengakibatkan luka pada badan isteri dan tidak pula pada bagian muka.
Kaum wanita pada dasarnya amat halus perasaannya. Nasihat-nasihat yang biasa
biasanya sudah cukup untuk mengadakan perubahan sikapa terhadap suaminya. Kalau
hal ini belum juga cukup, pisah tidur sudah dipandang sebagai pelajaran yang
lebih berat. Namun, apabila pelajaran tingkat kedua ini belum juga membekas,
pelajaran yang paling pahit dapat dilakukan, tetapi dengan cara yang tidak akan
mengakibatkan cedera dan tidak pada bagian muka seperti berkali-kali disebutkan
di atas.
2.
Nusyuz
A. Pengertian Nusyuz
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang
tinggi. Adapun secara terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita
terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.
Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[4]
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab,
dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu
pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh
pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu
pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap
pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti
terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut
Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar
apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”.[5]
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan
nusyuznya suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda
pula cara penyelesaiannya.
a.
Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan
hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya
pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan
yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka
nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar”.( Q.S.
An- Nisa. 34)
Dalam menafsirkan ayat
ini, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk
memukul seseorang jika ia melanggar kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz
ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri
dengan dosa besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang
melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan
hal itu tanpa proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini
Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani
istri-istrinya.”
Para ulama berbeda
pendapat mengenai hukuman dalam ayat di atas, ini disebabkan oleh perbedaan
dalam memahami huruf waw ‘athaf. Apakah huruf itu menunjukkan penggabungan
secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu saja dari hukuman-hukuman
kepada istrinya atau menetapkan keduannya, atau apakah huruf itu menunjukkan
adanya urutan.
Dalam masalah ini
terdapat pendapat yang moderat, yaitu mengatakan bahwa penggabungan huruf waw
adalah penggabungan secara mutlak, tetapi maksudnya penggabungan
berdasarkan urutan. Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar
ibn al-Arabi berkata: “penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini
adalah pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu
menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami harus memisahkannya dari tempat
tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami harus memukulnya. Lalu jika ia
tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah itulah yang akan melihat
dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa
diterapkan atas keduanya”.[6]
b. Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika
Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya
nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan
durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam
mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan sebagai berikut:[7]
1.
Menasehati.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka”.
Yakni, suami memberi
nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta
mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi
pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya,
dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.[8]
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami ketika
ia menasehati istrinya adalah sebagai berikut:
1.
Memperingatkan istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam
sedangkan suami marah dengannya.
2.
Mengancamnya dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.
3.
Mengingatkan istri kepada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan
dampak-dampak nusyuz, diantaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya
keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya anak-anak.
4.
Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan
yang ridha dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ
شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي
الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“jika seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada
bulan puasa, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya
“masuklah engkau ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[9]
5. Menasehati istri dengan mengingatkan perintah kitabullah, yang mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik,
bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui posisi suami atasnya.
6.
Menasehati istri dengan menyebutkan hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup
ibu orang-orang mukmin, semoga Allah member keridhaan bagi mereka.
7.
Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara, kecuali memeperbanyak
sikap untuk mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam memilih seorang istri yang solehah, karena sesungguhnya istri yang
solehah memiliki agama yang baik, mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan
suami dan menampakkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah
membatasi begitu juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang
terlihat selama waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi
nasehat kepada istrinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum
berpindah pada fase pemecahan selanjutnya.
2.
Berpisah Tempat Tidur
Hal itu dilakukan
dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, dan meninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman
Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur”
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya,
memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai
suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia
masih marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas
bahwa hal itu berawal darinya. Peninggalan ini menurut ulama berakhir selama
sebulan sebagaimana
dilakukan oleh Nabi saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri tentang Nabi kepada
Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman berpisah itu telah
bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara
dengannya secara mutlak.
Adapun Al-hajru dalam berkomunikasi maka tidak
diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub
Al-Anshori:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ
أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ[10]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: tidaklah halal
seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari”.
Hikmah disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman
pemisahan terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an,
dan lebih bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan perempuan dengan kodratnya yang wajib
bagi laki-laki untuk taat di dalam kedalaman penemuannya, yaitu menentukan
harapan, keinginan dan melebihi perasaan-perasaan indrawi.
3. Memukul
Jika dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an
diperintahkan untuk memukul istrinya. Pemukulan ini tidak wajib menurut
syara’dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara
terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan nasihat dan pemisahan. Hal
ini merupakan usaha untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran
membersihkan rumah tangga dari kepecahan yang dihadapinya.
Bagi
suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti. Tidak
meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka. Dan hendaknya
suami tidak memukul wajah dan anggota tubuh yang vital atau mengkhawatirkan. Karena yang dimaksud dari pemukulan ini adalah
memperbaiki hubungan, bukan merusak.
روى أبو داود عن حكيم بن
معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ
أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا
إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ،
وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ»[11]
Artinya: Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi
dari ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai Rasulullah, apa hak istri
terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan,
dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu
memukul wajah, dan jangan menjelek-jelekkan, dan jangan mendiamkan kecuali di rumah”.
Adapun suami
boleh memukul dengan tangan, tongkat yang ringan, dan benda-benda lain yang
tidak membahayakan. Namun yang lebih utama ialah cukup dengan menakut-nakuti
saja tanpa adanya pukulan.
4. mengutus
dua orang hakam
Jika cara-cara
di atas telah ditempuh namun tidak berhasil, dan pada akhirnya masing-masing
mendakwa berbuat aniaya dan tidak bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa
kepada hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri tersebut,
seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk
mendamaikan atau memisahkan keduanya. Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا حَكَمًا
مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“Maka kalian utuslah penengah dari keluarganya”.
c. Nusyuz Suami
Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini telah mengatur masalah
nusyuz dari pihak istri
dan prosedur yang ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan
sekarang apabila nusyuz itu datang dari pihak suami
atau sikap cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan
kehormatan istri serta mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan
bisa berubah-ubah. Sedangkan Islam adalah Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang
dapat mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan. Adapun nusyuz
dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk
menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai
beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami
yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz
suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1. Memberikan mahar
sesuai dengan permintaan isteri.
2. Memberikan nafkah
zahir sesuai dengan pendapatan suami.
3. Menyiapkan peralatan
rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias
dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
4. Memberikan rasa aman
dan nyaman dalam rumah tangga.
5.
Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
6.
berbuat adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara
penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini
tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak.
Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa
juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا
حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا
يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara
keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila suami tidak
memberikan nafkah selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur hukum.
d. Implikasi Hukum yang Ditimbulkan Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz
menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada
suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari istri) tanpa adanya suatu alasan yang
dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz
dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristri lebih dari satu
(poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan
nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib
memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh
melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut
apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
BAB III
KESIMPULAN
kewajiban dan
hak tersebut dengan
kata suami dan istri, memperjelas
bahwa kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi
untuk istrinya. Sedangkan
kewajiaban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan
untuk suaminya. Begitu
juga dengan pengertian hak suami adalah, sesuatu yang harus diterima suami dari
isterinya. Sedangkan
hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya. Dengan demikian
kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak
isteri.demikian juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk
memenuhi hak suami.
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang
tinggi. Adapun secara terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita
terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.
Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz
menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada
suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari istri) tanpa adanya suatu alasan yang
dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz
dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristri lebih dari satu
(poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan
nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib
memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh
melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami
tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqh al-
Islam wa Adillatuh, hal. 317 jld. 7
[3]Muhammad Khatib al- Syarbini, Mughni
al- Muhtaj , Beirut: Dar al- Kutub al- Islami, jld. 3, hal 425
[4] Mahmud al- Mishri,
Perkawinan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2010, hal. 359
[5] Abu Abdillah bin
Muhammad al- Qurthubi, Jami’ Ahkami al- Qur’an, Beirut: Dar al- Fikr, jld. 3,
hal. 150
[6] Ibid, hal. 360
[7] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010, hal.
303
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi, Juz II, hlm.207
[9] Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad
Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Jld. III, Hal. 199.
[10] Sunan Abu Dawud, Juz. 4, hal. 279.
Komentar
Posting Komentar